Monday, July 21, 2008

Sinopsis MANAJEMEN PEMBERDAYAAN: SEBUAH PENGANTAR DAN PANDUAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Sinopsis MANAJEMEN PEMBERDAYAAN: SEBUAH PENGANTAR DAN PANDUAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Buku berjudul MANAJEMEN PEMBERDAYAAN: SEBUAH PENGANTAR DAN PANDUAN UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ini merupakan buku pertama yang mengupas konsep pemberdayaan masyarakat dan pengalaman pelaksanaan konsep tersebut di beberapa program pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Republik Indonesia maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat dan sejumlah badan usaha. Buku ini menjelaskan bahwa pemberdayaan sesungguhnya adalah upaya sadar memerdekakan manusia dari ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kebodohan. Apabila keberdayaan dipahami sebagai upaya membebaskan manusia dan masyarakat secara sistematis dari tiga belenggu itu, maka niscaya manusia dan masyarakat akan keluar dari jeratan kemiskinan.

Buku ini adalah tentang Manajemen Pemberdayaan, yang disusun ketika isu tentang pemberdayaan masyarakat mengemuka ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendeklarasikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat pada medio tahun 2006 sebagai ujung tombak pembangunan manusia Indonesia yang lebih merdeka, yaitu merdeka dari belenggu ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kebodohan.

Buku terangkai melalui enam pokok bahasan. Bahasan pertama berupa pendahuluan (Bab 1) membuka wacana pemberdayaan melalui diskusi konseptual tentang urgensi pemberdayaan dan dilanjutkan diskusi praktis tentang penerapan pemberdayaan dalam penanggulangan kemiskinan.

Bahasan kedua mengajak para pembaca menyelami akar konsep pemberdayaan (Bab 2) yang memberikan uraian terinci mengenai penelusuran konsep pemberdayaan mulai dari definisi tentang pembangunan serta berbagai definisi dan teori pembangunan ekonomi yang berlanjut pada kecenderungan konsep pembangunan di Indonesia mulai dari growth strategy hingga konsep pemberdayaan (empowerment) itu sendiri. Bahasan kedua ini dipertajam oleh batasan konseptual pemberdayaan serta semakin mempunyai koridor yang jelas ketika mendiskusikan konsep pemberdayaan dalam batasan konsep pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat.

Bahasan ketiga mengakaj pembaca memahami dasar-dasar pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (Bab 3) apabila menginginkan penerapan konsep pemberdayaan sebagai pendekatan dalam pembangunan atau program dan proyek yang bersifat langkah tindak nyata. Oleh karena itu, dalam bahasan ketiga ini pembaca diajak mendiskusikan prinsip pemberdayaan, berpikir tentang beberapa efek penerapan pendekatan pemberdayaan.

Bahasan berikutnya membahas ukuran pemberdayaan dari sudut pandang pragmatis penanggulangan kemiskinan (Bab 4). Sudut pandang pengukuran pemberdayaan masyarakat demikian melahirkan konsekuensi bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan yang hingga kini dapat dianggap paling sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dalam jangka panjang.

Bahasan berikut menggali berbagai pengalaman pelaksanaan pembangunan dan program serta proyek yang memanfaatkan pendekatan pemberdayaan (Bab 5). Beberapa model-model pemberdayaan dibahas dalam Bab ini, baik yang masih bersifat teori maupun yang sudah berbentuk implementatif, baik yang dilaksanakan secara kewilayahan maupun sektoral.

Buku ini ditutup oleh Bab Paskawacana (Bab 6) yang menyimpulkan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat merupakan perwujudan konsep demokrasi yang lebih membumi bagi masyarakat kelas akar rumput. Upaya pemberdayaan merupakan aksi lebih nyata membumikan hakikat demokrasi itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dengan demikian demokrasi tidak hanya dipahami dan diterjemahkan dalam bentuk pemilihan umum yang demokratis (pilkada, pilpres) namun lebih dari itu, demokrasi dapat diterjemahkan sebagai bahasa pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.

Buku ini ditulis oleh Randy R. Wrihatnolo seorang sarjana lulusan Ruhr-University Bochum Jerman dan University of Western Cape Afrika Selatan yang saat ini bekerja sebagai perencana di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Riant Nugroho D seorang sarjana ilmu politik dan magister administrasi publik dari Universitas Gadjah Mada. Sebagai sebuah buku pengantar, buku menarik untuk dibaca oleh kalangan praktisi, akademisi, dan pekerja masyarakat yang membela dan mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat akar rumput (rrwt).

Friday, April 25, 2008


Masalah kemiskinan menjadi pembicaraan banyak pihak karena kemiskinan merupakan permasalahan multisektoral dan menjadi tanggung jawab semua pihak baik dari tingkat kementerian/lembaga sampai pada individu masyarakat. Perhatian serius kepada keluarga miskin terlihat dengan kebijakan-kebijakan aktivitas yang dilakukan oleh Pemerintah yang sasarannya adalah keluarga miskin. Masalah kemiskinan hanya dapat dituntaskan apabila Pemerintah melakukan kebijakan yang serius memihak kepada keluarga miskin. Namun, seringkali kebijakan yang dibuat justru kurang memihak keluarga miskin, akibatnya kebijakan yang ada semakin memperburuk kondisi keluarga miskin bahkan menyebabkan seseorang yang tidak miskin menjadi miskin. Dalam makalah ini, akan dipaparkan kondisi persoalan dasar kemiskinan di Indonesia serta strategi dan kebijakannya.

Kemiskinan merupakan permasalahan harus segera tuntas, karena keadaan kemiskinan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lemah dan tidak bermartabat. Kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi oleh Indonesia dapat kita lihat dari pendekatan konsumsi penduduk miskin, kemiskinan multi dimensi, dan kesenjangan antar-wilayah.

Pertama, konsumsi penduduk miskin. Masalah kemiskinan dapat kita amati pada tingkat konsumsi penduduk Indonesia. Pendekatan konsumsi penduduk untuk melihat fenomena kemiskinan dapat dilihat dari dua jenis ukuran, yaitu ukuran konsumsi penduduk miskin dan ukuran daya beli. Ukuran konsumsi penduduk miskin diukur dari garis kemiskinan makanan dan non-makanan.

Kedua, kemiskinan multi dimensi. Fenomena kemiskinan di Indonesia dapat diamati pada berbagai dimensi yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin tidak mampu menikmati pelayanan dasar. Pada tahun 2002, sebesar 52,32 persen rumah tangga miskin hidup tanpa akses air minum. Selain itu sekitar 43,86 persen rumah tangga miskin hidup tanpa akses sanitasi. Dimensi berikutnya adalah rumah tangga miskin yang memiliki anak usia 12-15 tahun tetapi tanpa akses pendidikan dasar menengah mencapai 20,76 persen. Kemudian tercatat pula sekitar 27,89 persen rumah tangga miskin yang pernah melahirkan bayi tanpa ditangani tenaga kesehatan terlatih. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa kelompok penduduk miskin sangat jarang menikmati fasilitas air minum, sanitasi, pendidikan, kesehatan. Secara umum Indeks Kemiskinan Manusia Indonesia tahun 2005 diperkirakan sebesar 18,19. Kondisi ini lebih baik dibandingkan lima tahun sebelumnya dengan indeks sebesar 27,75.

Ketiga, kesenjangan antar-wilayah. Masalah kemiskinan dapat kita pahami dari masalah kesenjangan di Indonesia yang sangat kentara ketika kita mengamati indikator Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI). IPMI menggambarkan kondisi kesehatan, pendidikan, gizi, dan air minum yang dialami oleh penduduk Indonesia. Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004 yang memuat IPMI di masing-masing kabupaten/kota mencerminkan adanya ketimpangan antar-daerah yang masih tinggi dalam hal kesejahteraan penduduk miskin di masing-masing kabupaten/kota. Dalam laporan tersebut, lima provinsi pertama dengan IPM terendah adalah Nusa Tenggara Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Gorontalo, Jawa Timur. Sementara itu lima provinsi pertama dengan IPM tertinggi adalah Jakarta, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Riau.

Persebaran lokasi penduduk miskin pun hampir merata di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2005, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi terbanyak penduduk miskinnya namun proporsinya kecil, sementara itu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah paling sedikit penduduk miskinnya namun proporsinya besar. Sebaliknya, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua jumlah penduduknya sedikit namun proporsi penduduk miskinnya besar.

Berdasarkan realita tersebut di atas, maka beberapa strategi dan kebijakan untuk mengatasi permasalahan di atas perlu dilakukan antara lain meliputi sebagai berikut.

Pertama, strategi pertumbuhan yang berkualitas (quality growth). Strategi ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin yang ditandai oleh menguatnya daya beli penduduk miskin yang didorong oleh terciptanya penghasilan bagi keluarga miskin dan terkuranginya beban pengeluaran keluarga miskin, serta lebih jauh dapat meningkatkan kemandirian keluarga miskin dalam bentuk meningkatnya nilai simpanan/aset keluarga miskin. Dengan demikian keluarga miskin dapat ikut menikmati pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas.

Kedua, strategi peningkatan akses pelayanan dasar bagi keluarga miskin (accessibility to basic public service). Strategi ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup penduduk miskin yang ditandai oleh semakin meningkatnya kehadiran keluarga miskin pada fasilitas dan pelayanan kesehatan dasar, pendidikan wajib belajar, konsumsi pangan dan gizi yang bermutu, serta semakin mudahnya menjangkau fasilitas tersebut akibat semakin baiknya prasarana dan sarana dasar.

Ketiga, strategi perlindungan sosial (social protection). Strategi ini bertujuan meningkatkan perlindungan sosial kepada keluarga miskin yang ditandai oleh semakin banyaknya jumlah keluarga miskin yang terjangkau oleh sistem perlindungan sosial sehingga akan semakin meringankan beban hidup keluarga miskin di tengah kondisi yang rawan akan perubahan yang sangat berpengaruh terhadap daya beli penduduk miskin.

Keempat, strategi pemberdayaan masyarakat (community development). Strategi ini bertujuan mendorong penduduk miskin secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk untuk menanggulangi kemiskinan yang dialami mereka sendiri. Masyarakat miskin bukan sebagai obyek, melainkan subyek. Keberdayaan penduduk miskin ditandai oleh semakin bertambahnya kesempatan kerja yang diciptakan sendiri oleh penduduk miskin secara kolektif, dan pada gilirannya akan dapat memberikan tambahan penghasilan, meringankan beban konsumsi, serta meningkatkan nilai simpanan/aset keluarga miskin. Keberdayaan penduduk miskin juga ditandai oleh semakin meningkatnya kapasitas penduduk miskin secara kolektif dalam mengelola organisasi pembangunan secara mandiri.

Strategi pemberdayan masyarakat diterapkan dalam berbagai program yang menggunakan prinsip dasar bahwa orang miskin apabila mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri maka mereka dapat berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya. Prinsip demikian lebih lanjut dituangkan ke dalam mekanisme pelaksanaan kegiatan yang mengandalkan kekuatan masyarakat miskin setempat dengan fasilitasi dari tenaga pendamping, aparat desa dan kecamatan. Mekanisme demikian efektif menghidupkan proses pemberdayaan masyarakat agar masyarakat mampu merencanakan, membangun, dan memelihara hasil kegiatan secara mandiri.

Sumber: Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D. (2007): Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta (Gramedia/Elexmedia Komputindo).